Saya bukan teman masa kecil Eminem. Bukan juga
saudara kandungnya. Eminem tidak bersuku. Tidak bermarga. Bahkan dia tidak
kenal penulis blog ini. Saya cuma penikmat karya maestro ini sejak akhir 2014.
Setidaknya lagu-lagu yang bisa diterima akal sehat
seperti Love The Way You Lie, When I’m Gone, Lose Your Self, Space Bound, I’m
Not Afraid, 25 To Life, Rap God, Beatiful, Monster, dan Drop The World karena
entah mengapa beberapa lagu idola saya yang satu ini lebih banyak kesan
stress-nya.
Sebagai seorang rapper tenar, sulit mencari manusia
langka yang tidak tahu namanya di bumi ini.
Termasuk di Indonesia meskipun rapper dengan nama
asli Marshall ini belum pernah mendarat di negeri tercinta dan mengadakan
konser.
Barangkali, Eminem enggan datang ke sini karena kita
di Indonesia suka sekali merendahkan kaum-kaum yang tinggi badannya tidak lebih
dari Raditya Dika.
Sebagai idola banyak orang, banyak pengamat musik
yang memberi julukan “Raja Hip-Hop" kepada salah satu rapper
tercepat di dunia ini. Sudah seperti Michael Jackson sebagai raja pop, Bob
Marley sebagai raja reggae, sampai Jimmy Hendrix sebagai raja gitar.
Hal ini secara tidak langsung dibuktikan ketika
Eminem merilis lagu Rap God dan lewat lagu itu ia mengganjal rekor
dunia sebagai musisi rap tercepat yang pernah ada.
Penggemarnya semakin tak sabar mendeklarasikan
idolanya ini sebagai The King.
Bahkan Bapak saya yang adalah manusia langka
bertanya, “Wah, siapa ini kok cepat sekali nge-rapnya?”
Saya cuma mengangguk, merasa bangga idola saya
dipuji dan dipuja seperti itu.
Tapi dibalik itu semua, tetap banyak kontroversi
yang mewarnai karir Eminem menuju takhta RAP 1.
Salah satunya adalah kaum yang suka dengan senjata
rasis. Em adalah kebanggaan masyarakat Amerika Serikat dan dituduh punya karir
cemerlang karena warna kulitnya.
Jika melihat peta persaingan, hampir semua rapper
papan atas lainnya punya ras hitam sebut saja Wis Khalifa, Snopp Dog, Kanye
West, Drake sampai Florida. Eminem seperti berjalan sendiri di industri rapper
USA dan itu membuatnya istimewa.
Apalagi kalangan kaum kulit putih banyak menduduki
pos-pos utama di industri musik negeri Paman Sam itu, sehingga mereka dengan
mudahnya membentuk opini masyarakat tentang gelar Eminem ini.
Kasus ini kurang lebih sama dengan yang terjadi pada
Michael Jackson yang disebut-sebut sebagai raja pop ketika ia mengganti warna
kulitnya lewat operasi plastik. Dan klaim itu menjadi kontroversi sampai
sekarang.
Sudahlah. Tidak perlu diperdebatkan siapa raja,
siapa pangeran, dan siapa kaum protelarnya.
Yang jelas Eminem adalah idola di hati saya. Tanpa
gelar raja sekalipun, Eminem tetaplah Eminem.
Ia tidak akan berubah.
Eminem adalah rapper berkelas dan berbakat. Saya
merinding setiap melihat konsernya di Youtube yang dipadati lautan manusia yang
ikut melompat-lompat ketika musik mulai menghentak.
Bagi saya Eminem adalah sosok rapper universal.
Karyanya bisa diterima banyak orang dari berbagai negara meski mereka tidak
tahu Bahasa Inggris. Banyak orang yang semangatnya berkobar kembali setelah
mendengar lagu, I’m Not Afraid yang dirilis tahun 2010 silam. Padahal
lirik yang ia tahu hanya satu kalimat yakni i'm not afraid. Tapi entah
mengapa lagu itu seakan memberi pesan semangat padanya.
Bahkan hanya dengan menonton video klip When
I’m Gone di Youtube, kita bisa dibuat menangis meskipun tidak tahu arti
lirik-liriknya. Ada sesuatu yang menggetarkan kalbu ketika menonton video
musiknya.
Dan dibalik itu semua, seorang Eminem hanyalah
manusia biasa yang bisa menuai kritikan karena belakangan ini ia tidak
produktif berkarya seperti dulu.
Karya terakhirnya berjudul “Phenomeno” yang
tidak sefenomenal itu.
Tapi bagaimanapun, gelar raja itu tidak begitu
berguna untuk Eminem. Karya hits yang ia telurkan sudah lebih dari cukup
menepis keraguan orang-orang pada kemampuannya.
Gelar “raja” Itu tidak akan membuatnya lebih kaya
dari sekarang, karena ia sudah memiliki kekayaan yang tergolong fantastis. Ia
memiliki rumah dan mobil mewah, keluarga yang lengkap, kesehatan, dan
kehormatan yang hakiki dari penggemarnya.
Gelar raja juga gelar yang serakah. Karena itu
menghalangi generasi berikutnya yang ingin berkarya dan terobsesi menjadi yang
terbaik.
Saya tidak ingin gelar 'The King Of' disabet Eminem.
Saya lebih suka Eminem disebut manusia biasa yang
berprestasi.
Karena tanpa kita sadari gelar 'The King Of' itu
sering dekat pada kematian itu sendiri.
Kami tidak mau kehilanganmu, Em. Kami lebih ikhlas
kehilangan mantan-mantan kami.
0 Comments