Indonesia adalah salah satu cagar ilmu di dunia. Itu
karena ada banyak jurusan kuliah yang tidak kekinian tapi tetap saja dibuka.
Padahal, serapan lapangan pekerjaannya minim sekali.
Kita contohkan saja jurusan filsafat yang dari dulu
sudah ada. Setahu saya, jurusan filsafat di PTN saat ini cuma di UGM dan UI.
Barangkali ada beberapa universitas swasta yang punya jurusan ini. Tapi itu pun
bisa dihitung dengan jari.
Ya, untung saja jurusan filsafat itu ada di UGM.
Kesan elit almamater kadang jauh lebih penting daripada jurusan itu sendiri.
Sekilas, mendengar jurusan filsafat apa yang
terbenak di pikiran kita?
Terbayang wajah Socrates atau Plato sang filsuf yang
melegenda kah? Atau terbayang master-master kungfu yang kharismanya begitu
bijak di film-film layar lebar China?
Kalau ditanya lulusan filsafat mau jadi apa,
sebagaian orang punya jawaban yang sama, “Mau jadi dosen filsafat”. Itu
sudah.
Mereka belajar di jurusan filsafat, biar bisa jadi
dosen filsafat dan murid-muridnya kelak mau belajar filsafat biar bisa jadi
dosen juga. Terus begitu skemanya sampai Anies Baswedan jadi Menteri Pendidikan
lagi.
Ada yang salah dengan tujuan itu? Jawabannya tidak.
Secara praktis, dosen bukanlah pekerjaan santai.
Dosen bisa disebut mahasiswa yang lebih matang.
Mereka juga dituntut untuk belajar lagi dan lagi sama seperti mahasiswa pada
umumnya.
Membuat riset terbaru, mengembangkan ilmu
pengetahuan, dan menggunakan riset itu untuk kepentingan umum. Begitu mulia
bukan pekerjaan seorang dosen?
Namun sekarang, status dosen banyak diartikan
sebagai puncak dari sebuah ilmu.
Status dosen di kalangan masyarakat adalah pembicara
yang bisa dipercaya karena ditempah diktat-diktat ilmiah selama kurang lebih
enam tahun.
Dosen pada hakikatnya harus terus belajar. Tidak
diam, kaku, mengejar uang dari manggung di sana-sini, melancong ke kampus
sana-sini, menjual diktat ini dan itu, tanpa ada upaya mengaplikasikan
pengetahuannya.
Banyak orang berpikir, ketika masuk ke sebuah
disiplin ilmu yang tidak kekinian berarti tidak bisa memimpikan apapun. Peluang
kerja yang jelas, pasti, dan punya potensi cuma satu: Dosen.
Sewaktu saya SMA, dosen adalah impian hampir 50%
teman-teman saya. sedang 50% lainnya ingin jadi presiden.
Entah mengapa, jadi dosen itu terdengar seksi.
Padahal, dosen bukan makhluk Tuhan yang paling seksi. Bagi saya lebih seksi
lagi presenter televisi yang merangkap dosen. Eh.
Ada paradigma di kalangan masyarakat bahwa dosen itu
seharusnya berduit sehingga banyak yang mengejarnya. Lah, ini mitos.
Jangan memandang dosen dari sudut pandang normatif
saja.
Meskipun banyak dosen bermobil, setelannya elegan,
rumahnya mewah, tapi banyak juga dosen yang cuma naik motor, pakaiannya itu-itu
saja, dan rumahnya juga masih kontrakan.
Kalau mau kaya dari profesi dosen, jangan mimpi!
Gaji dosen yang kita lihat itu tidak mendominasi
jumlah kekayaannya.
Barangkali ia terlibat dalam riset mahal milik
swasta atau pemerintah, punya usaha sampingan, menerbitkan buku dengan
penjualan fantastis, diundang jadi pembicara internasional, didapuk menjadi
penasehat di suatu instansi, atau punya pasangan hidup yang bapaknya
konglomerat kondang. Siapa yang tahu?
Intinya mereka memang dosen, tapi bukan sekedar
dosen. Mereka memperluas kapasitas dirinya. Mereka keluar dari zona nyaman dan
terus berkarya menembus sekat-sekat persepsi di kalangan teman-teman
seprofesinya.
Ya, hingga akhirnya mereka bisa membeli Lamborghini
bekas yang dijual di situs jual beli multinasional, dengan kredit tentunya.
Seandainya kamu sempat berpikir jadi ‘dosen saja’
adalah karir yang menjanjikan, sudah sepatutnya kamu mengambil kertas dan pena
lalu merubah rencana hidupmu dari sekarang. Kesempatan jadi driver taksi
online, atau ikut investasi reksa dana masih lebih menjanjikan.
Seandainya kamu juga dilamar kekasihmu dengan
gombal-gembel seperti itu, tampar saja dia.
Karena tidak ada hasil yang memuaskan jika kamu
bersembunyi dibalik kata ‘sekedar’ dan ‘saja’.
Ya, maling kundang pun dihargai bukan karena dia
sekedar bongkahan batu.
0 Comments